TULISAN 10
HARGA DIRI KELUARGA
Aku terlahir
di tanah ini, di tanah yang dibilang subur ini, sebagai bagian keluarga besar
masyarakat Indonesia yang punya selera humor tinggi. Bukan hanya itu, selain
rasa humor, mbah-mbah ku dulu juga orang-orang yang paham benar dengan apa itu
yang namanya harga diri. Saat mereka masih muda sepertiku, mereka berjuang
mati-matian hanya untuk membela satu makhluk bernama harga diri sebagai bangsa
yang berhak merdeka. Jargon mereka yang sampai sekarang masih terniang-niang di
telinga anak cucunya termasuk aku adalah merdeka atau mati. Mungkin sedikit
berbeda jika kudengar cerita tetanggaku, nenek moyangnya dulu lebih memilih
merdeka bersyarat sebagai negara persemakmuran hanya karena tergoda iming-iming
akan berbagai fasilitas asal mereka nganut dengan negeri induknya. Dan mungkin
karena kenganutan – kepatuhan itu membuat tetanggaku itu kurang tau dengan
humor – sama sepertiku.
Sebagai
manusia normal, dalam otakku sudah pasti terinternalisasi untuk mencintai tanah
kelahiranku. Tapi aku ragu, mungkin aku tidak begitu cinta dengan tanah
lahirku. Nyatanya, aku masih saja iri dan ingin hidup di tanah tetanggaku yang
punya banyak fasilitas itu, aku disini masih sering mengeluhkan buruknya
fasilitas meski bahan baku apapun tersedia di tanah lahirku ini. Aku kadang
iseng, menggerutu dalam hati – “kenapa mbah dulu kau berjuang mati-matian untuk
membela harga diri sebagai bangsa yang layak merdeka, kenapa tak kau serahkan
saja bahan baku tanah lahirku ini pada Belanda untuk mereka kelola dan kita
bisa mencicipi sedikit masakan hasil olahan mereka, toh aku sekarang lebih suka
burger olahan Amerika daripada gaplek buatan mak, – toh tetanggaku kini
hidupnya enak, mapan, tercukupi dengan hanya bersedia menyerahkan harga diri
mereka dan menjadi negara persemakmuran Inggris. Dan, toh seandainya engkau
hidup sekarang – dan melihat betapa buruknya aku, betapa aku tak paham tentang
harga diri sebagai bangsa yang dulu mati-matian engkau perjuangkan, kau mungkin
menyesal mbah berjuang mati-matian demi anak cucumu, demi aku – kau akan marah
melihatku karena aku hanya mengingat cerita heroikmu merebut kemerdekaan saat
tanggal-tanggal tertentu – dan aku hanya mengingatnya sebagai cerita, bukan
untuk kuteladani sebagai prilakuku sehari-hari. Dan akhirnya, kau hanya berucap
sinis padaku ‘Sudah dibelain mati-matian, malah ngedhumel – nyalahke, gak tau
diuntung, diwei ati njaluk rempelo, bocah ndhablek!!!”
Keluarga
besar masyarakat tanah lahirku punya selera humor yang tinggi, tapi tidak
bagiku – aku tidak mewarisi ini dari mbah-mbahku, aku tak punya satupun lelucon
untuk kulontarkan padamu, tapi aku selalu ikut tertawa jika mereka tertawa.
Mereka tetap bisa tertawa dalam keadaan apapun, saat krisis global mereka masih
bisa tertawa, – bahkan makin ngakak, dilanda bencana pun masih saja membuat
lelucon – bu LSM, mas Ormas, mbak Partai, pak Pemerintah ramai-ramai datang
memberi mereka bantuan dengan menancapkan bendera di sekitar tenda pengungsian,
dan keluarga besar tanah lahirku itu menyambutnya dengan tersenyum sinis
“terima kasih pak, bu, mbak, mas, lain kali benderanya lebih besar lagi – biar
semua orang tau kalau kalianlah yang pernah membantu kami“. Jangan tanya
kehidupan sehari-hari keluarga besar tanah lahirku itu, mereka seringkali
saling mentertawakan saat salah satu anggota keluarga menciptakan karya, “ah,
mobil buatan lokal – bagus sih, tapi kualitasnya paling-paling bertahan satu
dua tahun, hehe, harga jualnya pasti merosot, onderdilnya juga pasti mahal,
mending beli yang pasti aja deh daripada beli mobil geje”. Dan sekarang selera
humor mereka makin tinggi dengan banyaknya tayangan komedi di TV tiap harinya
yang dibiayai sponsor dengan nilai sangat mahal, yang mungkin biaya acara
komedi itu cukup untuk menyumbang subsidi pendidikan tiap bulannya. Sarkasme,
penghinaan harkat, rasisme, pelecehan HAM, sudah menjadi sebuah kewajaran jika
dilakukan saat sedang melucu, karena keluarga besar tanah lahirku sudah paham
benar dengan apa itu harga diri, beda denganku – aku masih menganggap itu
sebagai hal yang tabu. Tapi bagimu yang berprofesi sebagai guru, jangan
sesekali melontarkan kata-kata berbau sarkasme, rasis, dsj saat mengajari
putra-putri keluarga besar tanah lahirku, sekalipun kau hanya berniat melucu –
menghilangkan kejenuhan dalam kelas, kau akan segera dituduh melecehkan HAM dan
kau akan dilaporkan pada pihak berwajib.
Bagaimana
denganku? Aku belum tahu apapun tentang humor dan harga diri. Aku memilih
menjadi seperti ikan mati – mengikuti arus air. Kalau keluarga besar tanah
lahirku tertawa, aku ikut tertawa, kalau mereka marah, aku juga ikut marah.
Kalau kapal tetangga tanpa ijin masuk wilayah tanah lahirku, aku ikut merasa
marah dan geram karena aku lihat keluargaku juga demikian. Kalau tarian, musik,
ataupun wayang warisan mbahku diklaim tetanggaku sebagai miliknya, keluarga
besar tanah lahirku sudah pasti marah besar, dan aku juga ikut marah besar,
meskipun aku sendiri tidak tahu tarian apa itu, musik apa itu, apa sih wayang,
lah wong aku lebih suka yang dari kebarat-baratan biar dianggap modern kok –
tapi gak apa lah, yang penting ikut marah biar gak dituduh sebagai penghianat
bangsa.
Kadang aku
juga bingung dengan keluarga besar tanah lahirku itu. kalau hal-hal yang
menurutku jarang mereka gunakan dalam keseharian diklaim tetangga, mereka marah
besar. Tapi, kalau hal-hal mendasar yang menjadi kebutuhan sehari-hari dikuasai
tetangga, mereka justru mendukung. Dan aku pun juga ikut mendukung, selain
karena ikut-ikutan, mungkin juga karena aku suka kebarat-baratan yang modern
itu. Kalau disuruh milih, aku lebih suka belanja di supermarket modern yang
kebanyakan milik tetanggaku itu daripada belanja di pasar tradisional milik
keluargaku sendiri, lah keluarga besar tanah lahirku sendiri juga suka belanja
di sana. Melihat sikap keluarga besar tanah lahirku seperti demikian, aku
menjadi lebih tidak paham lagi dan bahkan sudah lupa pesan mbah-mbahku agar aku
mencari tahu arti kata harga diri yang dimaksudkan mbah-mbahku dulu. Maaf, mbah
– aku bosan mengingat cerita heroikmu berjuang mati-matian demi harga diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar