TULISAN 8
BELAJAR BUKAN
UNTUK SOMBONG
Ada hal
menarik yang selalu membuatku penasaran dengan dia, Suci namanya. Dia teman
sekelasku saat aku duduk di bangku kelas V di SD Negeri 1 Tanjung. Dia begitu
sederhana dan tak jarang aku melihat dia berdiam di kelas dan memilih membaca
buku daripada jajan di kantin bersama temam-temannya.
“Mungkin dia gak bawa sangu?”, tanyaku dalam
hati.
“Ya, bisa jadi”, celetukku kemudian karena
setelah itu dia mengeluarkan sekantong plastik yang ternyata itu adalah sekotak
nasi lengkap dengan lauknya.
“Ups, Tapi
kayanya pendapatku salah, soalnya dia barusan menyisihkan uangnya ke kotak
amal”.
Pernah suatu
hari, aku bertemu dengannya di taman kota dan dia yang kukira pendiam justru
menyapaku dengan riang, “Assalamu’alaikum, Tina. Apa kabar?”
“Wa’alaikumussalam, Suci. Alhamdulillah baik,
kamu?”, jawabku dan diapun segera menghampiri dan menyalamiku.
Setelah kutanya apa yang sedang dia lakukan,
dia pun menjawab kalau dia sedang membantu saudaranya.
“Saudaranya?” pikirku penasaran sebab yang
kulihat hanya ada beberapa anak jalanan yang sedang berlatih membaca ataupun
berhitung.
Tiba-tiba,
seorang anak seusiaku menghampiri kami seraya menyodorkan secarik kertas pada
Suci. Dan tak lama kemudian, Suci pun mengacungkan jempol sembari berkata,
“Alhamdulillah, nilai seratus buat kamu. Makin semangat ya belajarnya, aku
bangga sama kamu”.
Ternyata,
yang ia maksud saudara yaitu mereka yang punya tekad kuat untuk belajar, namun
tidak bisa mengenyam bangku sekolahan.
“Astaghfirullahal’adzim, aku jadi malu pada
mereka”.
Hampir
setiap tindakan temanku itu membuatku bengong keheranan, apalagi tadi pagi
ketika dia maju ke depan kelas dan mengumumkan kepada kami, “Bagi yang berkenan
menyumbangkan pakaian dan buku, baik baru ataupun bekas. Silahkan menghubungi
aku ya. Terimakasih”.
Keesokan
harinya banyak teman-teman yang turut menyumbang, termasuk dia. Ia pun tak lupa
mengucapkan terimakasih dan mendoakan kebaikkan untuk kami lagi. karena masih
penasaran atas apa yang ia lakukan, maka aku pun ikut serta membawakan
pakaian-pakaian yang telah kami masukan dalam kardus untuk disumbangkan sesuai
rencana.
Aku sesekali
mengeluh kecapaian, ditambah lagi kakiku terasa pegal-pegal karena sudah sejam
perjalanan. Namun, kami belum sampai di tempat tujuan.
“Ya, udah
kalau gitu kita istirahat lagi ya?”, ucapnya seraya melemparkan senyum padaku.
“Subhanallah,
dia begitu sabar, bahkan raut kesal akan keluh kesahku pun tak pernah tampak.
Aku salut sama dia”, gumamku dalam hati sehingga aku mencoba tetap semangat dan
semangat lagi seperti dia.
Tak jauh
dari pemberhentian kami yang terakhir, dia berkata, “Alhamdulillah, sampai
juga”.
“Alhamdulillah”, sahutku sembari menghela
nafas panjang.
Deg, aku terkejut dibuatnya ketika ia
mengetuk pintu sebuah gubug tua yang menurutku tak layak untuk dihuni. “Apa dia
tinggal disini?”.
Belum sempat
terjawab rasa penasaranku, tiba-tiba pintu terbuka, “kretek, kretek” terdengar
begitu. Lalu, keluarlah beberapa anak kecil menyambut kedatangan kami.
Tampak jelas
rona bahagia di wajah mereka, terlebih ketika mereka membuka kardus bawaan
kami.
“Makasih ya kakak”, ucap mereka berbarengan
kepada Suci.
“Iya, sama-sama, De. Ucapin juga ke teman
kakak ini, namanya kak Tina” Balasnya seraya melirik ke arahku.
“Terima kasih, kak Tina”, seru mereka.
Tak sampai
disitu, karena sebelum melaksanakan sholat berjamaah, Suci pun mengulungkan
buku-buku dan seperangkat alat sholat baru untuk mereka.
“Ya, Allah. Ternyata dia baik banget”, ucapku
lirih.
Pukul 16.00 WIB..
Sedih
rasanya beranjak dari tempat itu, namun aku juga tak ingin membuat orangtuaku
khawatir karena belum pulang sehingga kami segera berpamitan dan menuju halte.
Kupikir kita
akan pulang menggunakan angkutan umum, tapi satu, dua hingga empat atau lima
bis ia biarkan lewat, padahal hari sudah mulai sore. “Sebenernya apa yang ia
tunggu?” pikirku.
“Cit..”,
sebuah mobil mewah berhenti di depan kami dan “Ayo”, ajaknya usai membuka pintu
mobil yang entah milik siapa itu.
Sambil
melihat-lihat isi mobil yang dipenuhi dengan buku-buku, aku kembali dibuatnya
terkejut ketika sang sopir berkata, “Nak, Suci. Tadi ibu pesen agar kita mampir
ke toko ibu dulu ya?”. Sedangkan Suci hanya mengangguk, lalu mengajakku
mengobrol tentang pelajaran di sekolah.
Kami
berhenti di depan toko atau lebih tepatnya restoran dan ia lekas memesankan
hidangan untuk kami, begitu juga untuk sopir mobil tadi.
Beberapa
saat kemudian, seorang ibu menghampiri seraya mengecup kening Suci. Suci pun
langsung memperkenalkanku pada ibu itu dan ternyata, “Waw, ibu pemilik
restauran itu adalah ibunya. Aku benar-benar tak menyangka. Meski Suci serba
punya, namun ia selalu tampil sederhana dan tidak menyombongkan diri”.
Dan aku
memberanikan diri untuk bertanya pada dia saat kami melanjutkan perjalanan
pulang dan jawab dia, “Untuk apa menyombongkan diri, di atas langitkan ada
langit, ya kan? Apalagi semua ini juga titipan-Nya semata”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar