TULISAN 10

TULISAN 10
      HARGA DIRI KELUARGA
Aku terlahir di tanah ini, di tanah yang dibilang subur ini, sebagai bagian keluarga besar masyarakat Indonesia yang punya selera humor tinggi. Bukan hanya itu, selain rasa humor, mbah-mbah ku dulu juga orang-orang yang paham benar dengan apa itu yang namanya harga diri. Saat mereka masih muda sepertiku, mereka berjuang mati-matian hanya untuk membela satu makhluk bernama harga diri sebagai bangsa yang berhak merdeka. Jargon mereka yang sampai sekarang masih terniang-niang di telinga anak cucunya termasuk aku adalah merdeka atau mati. Mungkin sedikit berbeda jika kudengar cerita tetanggaku, nenek moyangnya dulu lebih memilih merdeka bersyarat sebagai negara persemakmuran hanya karena tergoda iming-iming akan berbagai fasilitas asal mereka nganut dengan negeri induknya. Dan mungkin karena kenganutan – kepatuhan itu membuat tetanggaku itu kurang tau dengan humor – sama sepertiku.
Sebagai manusia normal, dalam otakku sudah pasti terinternalisasi untuk mencintai tanah kelahiranku. Tapi aku ragu, mungkin aku tidak begitu cinta dengan tanah lahirku. Nyatanya, aku masih saja iri dan ingin hidup di tanah tetanggaku yang punya banyak fasilitas itu, aku disini masih sering mengeluhkan buruknya fasilitas meski bahan baku apapun tersedia di tanah lahirku ini. Aku kadang iseng, menggerutu dalam hati – “kenapa mbah dulu kau berjuang mati-matian untuk membela harga diri sebagai bangsa yang layak merdeka, kenapa tak kau serahkan saja bahan baku tanah lahirku ini pada Belanda untuk mereka kelola dan kita bisa mencicipi sedikit masakan hasil olahan mereka, toh aku sekarang lebih suka burger olahan Amerika daripada gaplek buatan mak, – toh tetanggaku kini hidupnya enak, mapan, tercukupi dengan hanya bersedia menyerahkan harga diri mereka dan menjadi negara persemakmuran Inggris. Dan, toh seandainya engkau hidup sekarang – dan melihat betapa buruknya aku, betapa aku tak paham tentang harga diri sebagai bangsa yang dulu mati-matian engkau perjuangkan, kau mungkin menyesal mbah berjuang mati-matian demi anak cucumu, demi aku – kau akan marah melihatku karena aku hanya mengingat cerita heroikmu merebut kemerdekaan saat tanggal-tanggal tertentu – dan aku hanya mengingatnya sebagai cerita, bukan untuk kuteladani sebagai prilakuku sehari-hari. Dan akhirnya, kau hanya berucap sinis padaku ‘Sudah dibelain mati-matian, malah ngedhumel – nyalahke, gak tau diuntung, diwei ati njaluk rempelo, bocah ndhablek!!!”
Keluarga besar masyarakat tanah lahirku punya selera humor yang tinggi, tapi tidak bagiku – aku tidak mewarisi ini dari mbah-mbahku, aku tak punya satupun lelucon untuk kulontarkan padamu, tapi aku selalu ikut tertawa jika mereka tertawa. Mereka tetap bisa tertawa dalam keadaan apapun, saat krisis global mereka masih bisa tertawa, – bahkan makin ngakak, dilanda bencana pun masih saja membuat lelucon – bu LSM, mas Ormas, mbak Partai, pak Pemerintah ramai-ramai datang memberi mereka bantuan dengan menancapkan bendera di sekitar tenda pengungsian, dan keluarga besar tanah lahirku itu menyambutnya dengan tersenyum sinis “terima kasih pak, bu, mbak, mas, lain kali benderanya lebih besar lagi – biar semua orang tau kalau kalianlah yang pernah membantu kami“. Jangan tanya kehidupan sehari-hari keluarga besar tanah lahirku itu, mereka seringkali saling mentertawakan saat salah satu anggota keluarga menciptakan karya, “ah, mobil buatan lokal – bagus sih, tapi kualitasnya paling-paling bertahan satu dua tahun, hehe, harga jualnya pasti merosot, onderdilnya juga pasti mahal, mending beli yang pasti aja deh daripada beli mobil geje”. Dan sekarang selera humor mereka makin tinggi dengan banyaknya tayangan komedi di TV tiap harinya yang dibiayai sponsor dengan nilai sangat mahal, yang mungkin biaya acara komedi itu cukup untuk menyumbang subsidi pendidikan tiap bulannya. Sarkasme, penghinaan harkat, rasisme, pelecehan HAM, sudah menjadi sebuah kewajaran jika dilakukan saat sedang melucu, karena keluarga besar tanah lahirku sudah paham benar dengan apa itu harga diri, beda denganku – aku masih menganggap itu sebagai hal yang tabu. Tapi bagimu yang berprofesi sebagai guru, jangan sesekali melontarkan kata-kata berbau sarkasme, rasis, dsj saat mengajari putra-putri keluarga besar tanah lahirku, sekalipun kau hanya berniat melucu – menghilangkan kejenuhan dalam kelas, kau akan segera dituduh melecehkan HAM dan kau akan dilaporkan pada pihak berwajib.
Bagaimana denganku? Aku belum tahu apapun tentang humor dan harga diri. Aku memilih menjadi seperti ikan mati – mengikuti arus air. Kalau keluarga besar tanah lahirku tertawa, aku ikut tertawa, kalau mereka marah, aku juga ikut marah. Kalau kapal tetangga tanpa ijin masuk wilayah tanah lahirku, aku ikut merasa marah dan geram karena aku lihat keluargaku juga demikian. Kalau tarian, musik, ataupun wayang warisan mbahku diklaim tetanggaku sebagai miliknya, keluarga besar tanah lahirku sudah pasti marah besar, dan aku juga ikut marah besar, meskipun aku sendiri tidak tahu tarian apa itu, musik apa itu, apa sih wayang, lah wong aku lebih suka yang dari kebarat-baratan biar dianggap modern kok – tapi gak apa lah, yang penting ikut marah biar gak dituduh sebagai penghianat bangsa.

Kadang aku juga bingung dengan keluarga besar tanah lahirku itu. kalau hal-hal yang menurutku jarang mereka gunakan dalam keseharian diklaim tetangga, mereka marah besar. Tapi, kalau hal-hal mendasar yang menjadi kebutuhan sehari-hari dikuasai tetangga, mereka justru mendukung. Dan aku pun juga ikut mendukung, selain karena ikut-ikutan, mungkin juga karena aku suka kebarat-baratan yang modern itu. Kalau disuruh milih, aku lebih suka belanja di supermarket modern yang kebanyakan milik tetanggaku itu daripada belanja di pasar tradisional milik keluargaku sendiri, lah keluarga besar tanah lahirku sendiri juga suka belanja di sana. Melihat sikap keluarga besar tanah lahirku seperti demikian, aku menjadi lebih tidak paham lagi dan bahkan sudah lupa pesan mbah-mbahku agar aku mencari tahu arti kata harga diri yang dimaksudkan mbah-mbahku dulu. Maaf, mbah – aku bosan mengingat cerita heroikmu berjuang mati-matian demi harga diri.

TULISAN 9

TULISAN 9
      ADILKAH TUHAN?
Banyak kalangan remaja yang saat ini mengaku bahwa dirinya muslim namun pada kenyataannya jarang menjalankan apa yang diperintahkan oleh Tuhan yang maha kuasa. Apakah kita berhak mengatakan bahwa kita muslim? Apabila kenyataannya seperti demikian. Bukan hanya itu saja, bahkan ada juga yang mengatakan bahwa tuhan itu tidak adil terhadapnya. Saya bisa mengatakan hal tersebut karena teman SMA saya sendiri yang mengatakan hal tersebut karena apa yang diinginkan agar bisa lolos di tes PTN tidak terwujud padahal kata teman saya, dia siang malam shalat dan berdoa tidak pernah ditinggalkan ketika sebelum pelaksanaan tes PTN. Dan saya bertanya kepada teman saya yang bernama Bagus Syahreza, “apakah kamu selalu menjalankan ibadah itu ketika tidak ada yang kamu inginkan?”. Lalu dia menjawabnya,” iya sih, walaupun tidak serajin saat tes”.
Tahu kah kita semua, bahwa kita sebagai seorang remaja sebagai generasi penerus bangsa tidak layak mengatakan hal tersebut. “Allah selalu memberikan apa yang kita inginkan bukan apa yang kita butuhkan”. Banyak dari kita yang selalu mengeluh dengan apa yang kita inginkan tapi tidak terwujud padahal tahu kah, Allah telah mempersiapkan tempat yang terbaik buat kita. Dan itu saya alami sendiri, ketika masuk SMP walaupun itu SMP yang favorit di daerah saya, namun saya kurang suka karena teman saya banyak yang tidak mendaftar disitu dan hasilnya sekolah saya hancur itu berbeda 180 derajat ketika di SMA, walaupun sekolahnya biasa saja, namun saya suka dan hasilnya saya bisa mendapatkan ranking tiap semester. Dan yang saya minta kepada Allah adalah agar saya diberikan tempat yang terbaik bukan yang di anggap orang itu adalah tempat yang terbaik. Dan yakinlah kita, khususnya remaja yang mengaku muslim, janganlah kalian semua mengatakan bahwa Allah tidak adil karena ketika keinginan kita tidak terwujud, yakinlah Allah telah menyiapkan tempat yang terbaik untuk kita dan di tempat itulah kemungkinan kita bisa lebih sukses daripada tempat yang kita anggap yang terbaik.
Dan saya bisa mengatakan hal demikian, karena itu dari pengalaman saya pribadi dan juga pengalaman dari teman saya sendiri. Sebagai remaja muslim yang baik, jangan pernah mengatakan bahwa tuhan tidak adil, toh sebenarnya kita yang tidak adil kepada tuhan karena saat kita disuruh mengerjakan apa yang disuruhnya banyak yang lupa atau malas. Kita hanya ingat ketika saat kita membutuhkan tuhan, pantaskah tuhan mewujudkan keinginan kita apabila kita tidak pernah mendengarkan perintahnya dan bahkan banyak remaja Indonesia yang mengerjakan apa yang dilarangnya.

Dari saya yang terakhir, kerjakanlah apa yang diinginkan tuhan kita terlebih dahulu dan yakinlah bahwa tuhan akan mewujudkan keinginan kita.

TULISAN 8

TULISAN 8
BELAJAR BUKAN UNTUK SOMBONG
Ada hal menarik yang selalu membuatku penasaran dengan dia, Suci namanya. Dia teman sekelasku saat aku duduk di bangku kelas V di SD Negeri 1 Tanjung. Dia begitu sederhana dan tak jarang aku melihat dia berdiam di kelas dan memilih membaca buku daripada jajan di kantin bersama temam-temannya.
“Mungkin dia gak bawa sangu?”, tanyaku dalam hati.
“Ya, bisa jadi”, celetukku kemudian karena setelah itu dia mengeluarkan sekantong plastik yang ternyata itu adalah sekotak nasi lengkap dengan lauknya.
“Ups, Tapi kayanya pendapatku salah, soalnya dia barusan menyisihkan uangnya ke kotak amal”.
Pernah suatu hari, aku bertemu dengannya di taman kota dan dia yang kukira pendiam justru menyapaku dengan riang, “Assalamu’alaikum, Tina. Apa kabar?”
“Wa’alaikumussalam, Suci. Alhamdulillah baik, kamu?”, jawabku dan diapun segera menghampiri dan menyalamiku.
Setelah kutanya apa yang sedang dia lakukan, dia pun menjawab kalau dia sedang membantu saudaranya.
“Saudaranya?” pikirku penasaran sebab yang kulihat hanya ada beberapa anak jalanan yang sedang berlatih membaca ataupun berhitung.
Tiba-tiba, seorang anak seusiaku menghampiri kami seraya menyodorkan secarik kertas pada Suci. Dan tak lama kemudian, Suci pun mengacungkan jempol sembari berkata, “Alhamdulillah, nilai seratus buat kamu. Makin semangat ya belajarnya, aku bangga sama kamu”.
Ternyata, yang ia maksud saudara yaitu mereka yang punya tekad kuat untuk belajar, namun tidak bisa mengenyam bangku sekolahan.
“Astaghfirullahal’adzim, aku jadi malu pada mereka”.
Hampir setiap tindakan temanku itu membuatku bengong keheranan, apalagi tadi pagi ketika dia maju ke depan kelas dan mengumumkan kepada kami, “Bagi yang berkenan menyumbangkan pakaian dan buku, baik baru ataupun bekas. Silahkan menghubungi aku ya. Terimakasih”.
Keesokan harinya banyak teman-teman yang turut menyumbang, termasuk dia. Ia pun tak lupa mengucapkan terimakasih dan mendoakan kebaikkan untuk kami lagi. karena masih penasaran atas apa yang ia lakukan, maka aku pun ikut serta membawakan pakaian-pakaian yang telah kami masukan dalam kardus untuk disumbangkan sesuai rencana.
Aku sesekali mengeluh kecapaian, ditambah lagi kakiku terasa pegal-pegal karena sudah sejam perjalanan. Namun, kami belum sampai di tempat tujuan.
“Ya, udah kalau gitu kita istirahat lagi ya?”, ucapnya seraya melemparkan senyum padaku.
“Subhanallah, dia begitu sabar, bahkan raut kesal akan keluh kesahku pun tak pernah tampak. Aku salut sama dia”, gumamku dalam hati sehingga aku mencoba tetap semangat dan semangat lagi seperti dia.
Tak jauh dari pemberhentian kami yang terakhir, dia berkata, “Alhamdulillah, sampai juga”.
“Alhamdulillah”, sahutku sembari menghela nafas panjang.
Deg, aku terkejut dibuatnya ketika ia mengetuk pintu sebuah gubug tua yang menurutku tak layak untuk dihuni. “Apa dia tinggal disini?”.
Belum sempat terjawab rasa penasaranku, tiba-tiba pintu terbuka, “kretek, kretek” terdengar begitu. Lalu, keluarlah beberapa anak kecil menyambut kedatangan kami.
Tampak jelas rona bahagia di wajah mereka, terlebih ketika mereka membuka kardus bawaan kami.
“Makasih ya kakak”, ucap mereka berbarengan kepada Suci.
“Iya, sama-sama, De. Ucapin juga ke teman kakak ini, namanya kak Tina” Balasnya seraya melirik ke arahku.
“Terima kasih, kak Tina”, seru mereka.
Tak sampai disitu, karena sebelum melaksanakan sholat berjamaah, Suci pun mengulungkan buku-buku dan seperangkat alat sholat baru untuk mereka.
“Ya, Allah. Ternyata dia baik banget”, ucapku lirih.
Pukul 16.00 WIB..
Sedih rasanya beranjak dari tempat itu, namun aku juga tak ingin membuat orangtuaku khawatir karena belum pulang sehingga kami segera berpamitan dan menuju halte.
Kupikir kita akan pulang menggunakan angkutan umum, tapi satu, dua hingga empat atau lima bis ia biarkan lewat, padahal hari sudah mulai sore. “Sebenernya apa yang ia tunggu?” pikirku.
“Cit..”, sebuah mobil mewah berhenti di depan kami dan “Ayo”, ajaknya usai membuka pintu mobil yang entah milik siapa itu.
Sambil melihat-lihat isi mobil yang dipenuhi dengan buku-buku, aku kembali dibuatnya terkejut ketika sang sopir berkata, “Nak, Suci. Tadi ibu pesen agar kita mampir ke toko ibu dulu ya?”. Sedangkan Suci hanya mengangguk, lalu mengajakku mengobrol tentang pelajaran di sekolah.
Kami berhenti di depan toko atau lebih tepatnya restoran dan ia lekas memesankan hidangan untuk kami, begitu juga untuk sopir mobil tadi.
Beberapa saat kemudian, seorang ibu menghampiri seraya mengecup kening Suci. Suci pun langsung memperkenalkanku pada ibu itu dan ternyata, “Waw, ibu pemilik restauran itu adalah ibunya. Aku benar-benar tak menyangka. Meski Suci serba punya, namun ia selalu tampil sederhana dan tidak menyombongkan diri”.

Dan aku memberanikan diri untuk bertanya pada dia saat kami melanjutkan perjalanan pulang dan jawab dia, “Untuk apa menyombongkan diri, di atas langitkan ada langit, ya kan? Apalagi semua ini juga titipan-Nya semata”.

TULISAN 7

TULISAN 7
BER ANDAI ANDAI DI KOTA
Namun, kau berlalu begitu cepat. Aku menoleh, mencari dirimu, berharap melihat rambutmu yang hitam kecokelatan di bawah tudung jaket biru itu, namun kau telah tiada. Belasan orang menyapu jalanan, melangkah bersama di bawah guyuran dan dinginnya hujan, dan kau telah tiada. Aku menatap tempatmu berada, tempatmu berlalu beberapa menit yang lalu, atau mungkin beberapa detik? Lebih singkat dari kedipan mata kita? Begitu singkat, hingga seolah tak pernah ada. Dirimu, yang seolah menjadi satu-satunya warna di hitam-putihnya jalan tersebut, mungkinkah hanya sebuah ilusi, atau khayalan?
Dan mungkinkah waktu-waktu yang pernah kita alami bersama, di tengah jalan itu, di bawah hujan, di kota tersebut, bertahun-tahun yang lalu, juga sebuah khayalan?
Jalanan tersebut telah berubah. Aku ingat akan adanya sebuah pohon di ujung jalan tersebut, dengan daun-daunnya yang lebat, batangnya yang sangat besar, menunduk rendah memayungi jalan. Sesekali, kita membayangkan dahan-dahannya adalah tangan, dedaunannya adalah jari-jemari, dan membayangkan usia pohon tersebut yang sudah begitu tua, cukup tua hingga melampaui usia jalan tersebut, kota tersebut, dan semua yang ada di isinya.
Kita membayangkan pohon tersebut, Sang Tua, sebagaimana kita menyebutnya, dengan daun-daunnya dan cabang-cabangnya, membelai para pejalan kaki, melindungi mereka dari terik dan hujan, memberikan peneduh bagi kita di satu hari, di satu hari saat hujan turun begitu derasnya dan pagar-pagar rumah di jalan tersebut menjulang begitu tinggi dan angkuhnya. Di hari itu, pohon tersebut, dengan rendah hatinya dan kemurahannya, menjadi satu-satunya pelindung bagi kita dan para pejalan kaki lainnya. Kita, yang lupa untuk membawa payung. Kita, yang tertawa, bercanda, di bawah pohon besar tersebut.
Kini, tak ada lagi Sang Tua. Namun, rumah-rumah dengan pagar tinggi, angkuh dan menjulang, tersebut masih ada. Di sisi ini, di bagian kota ini, adalah tempat yang asing bagi kita. Dengan rumah-rumahnya yang mewah, megah, bagaikan istana. Dulu, kita merasa nervous. Namun, kita tetap berjalan melewatinya, setiap hari dan setiap waktu. Selain karena jalan tersebut merupakan jalan – bagaimana kau menyebutnya – oh ya, jalan terobos dari sekolah menuju rumah kita, juga karena kita, sebagaimanapun kita merasa tidak enak, dan apapun juga setiap melewati tempat tersebut, kita juga menginginkan tempat tersebut. Bukan. Bukan sekedar menginginkan. Kita mendambakan tempat tersebut.
Kita mendambakan rumah yang sedemikian besar, demikian indah. Bagai istana yang menjulang, tinggi di atas pegunungan, awan, memayungi semua yang ada di bawahnya. Memberikan teduhan, pelindung, bagi orang-orang lainnya. Kita membayangkan rumah yang demikian besar, hingga dapat menampung kita, seluruh keluarga kita. Para pelayan yang sigap, setia; hidup bagai putri dan pangeran dan raja dan ratu. Kita mendambakan kerajaan kita, membawa keluarga kita, dan diri kita sendiri, untuk meninggalkan bagian kota kita itu.
Dosakah kita untuk mengharapkan hal tersebut? Setelah belasan tahun tinggal di bagian kota kita, salahkah kita untuk berharap bahwa suatu hari nanti kita akan sukses, cukup sukses untuk membawa diri kita ke kehidupan yang lebih baik?
Lalu, kenapa kita harus berpisah seperti ini?
Kenapa kita harus berusaha untuk mencapai hal tersebut dengan mengejar kesuksesan kita masing-masing? Tak bisakah waktu membeku dan membiarkan kita melalui jalan tersebut, bagian kota tersebut, bersama, selamanya? Berdua dengan impian-impian kita, tanpa harus dipisahkan oleh cita-cita?
Ingatkah kau akan bagian kota itu? Dengan gedung-gedungnya yang tinggi, rumah-rumahnya yang bertingkat? Keluarga demi keluarga tinggal di sana, dan kita mengenal beberapa dari mereka. Seorang anak kecil, mungkin berusia satu tahun, yang melihat kita melewati tempat tersebut setiap harinya, sebuah konstanta dalam hidupnya? Ingatkah kau akan hari-hari terakhir kita di bagian kota itu? Anak itu tertawa, mengejar-ngejar kita, dan kita meraihnya dan menggendongnya. Ah, kau yang menggendongnya, ya. Kau selalu yang senang dengan anak-anak, kau dengan hatimu yang lembut, senyummu yang cerah, dan bahagia.
Ada sepasang kakek dan nenek yang tinggal di rumah kecil di bagian kota itu. Si nenek selalu menyapu teras rumahnya di setiap sore, di setiap kali kita melewati rumah mereka, sementara si kakek berkebun di halaman. Rumah mereka, yang kecil, rapi, dan bersih. Sesekali, kita akan bertanya-tanya apakah rumah mereka bisa sebersih itu karena si nenek selalu bersih-bersih setiap hari? Mungkin ya, katamu, tapi jangan lupakan andil si kakek, yang berkebun setiap hari juga.
Di hari-hari terakhir kita di sana, si nenek tersenyum pada kita. Si kakek tak terlihat di halamannya. Barulah beberapa hari kemudian kita mengetahui bahwa si kakek telah meninggal.
“Tidakkah itu romantis?” Kau bertanya padaku.
“Tentu saja,” jawabku. Menghabiskan masa muda hingga tua bersama, dengan usia sebagai satu-satunya pemisah? Tentu saja itu sangat romantis. Maukah kita seperti itu? Namun, aku tak menanyakannya padamu.
Aku masih bertanya-tanya sampai sekarang, apakah jika aku bertanya, segalanya akan berbeda.
Kau tahu, sudah bertahun-tahun berlalu, namun kenangan akan dirimu masih tersisa. Aku mengira, di hari kita berpisah, kau dan aku dengan jalan kita masing-masing, kita takkan bertemu lagi. Kita takkan mengingat satu sama lain, lagi. Untuk apa? Apa alasannya untuk kita bertemu lagi? Tak ada janji yang kita pernah kita buat bersama. Tak ada pakta ataupun sumpah setia. Bahkan perasaanku pun kau tak tahu.
Aku masih bertanya-tanya, apakah jika aku memberitahumu perasaanku, segalanya akan berbeda.
Sepuluh tahun, dan kota ini masih di guyur hujan. Aku berjalan melewati jalan tersebut, jalan kita, bagian kota itu, menuju bagian kota kita, lagi. Sepuluh tahun sudah aku tak mengunjungi kota kita. Begitu banyak yang berubah, begitu banyak yang tertinggal. Seperti kenangan akan dirimu. Seperti fakta bahwa aku masih melihatmu. Dimanapun, di berbagai sudut di kota ini.
Dan lihatlah, aku baru saja melihatmu lagi. Sedang berdiri di depan rumah lamaku, dengan jaket biru yang menudungi kepalamu. Aku melihatmu menoleh kepadaku, aku melihat wajahmu yang telah menua sepuluh tahun, tapi sejujurnya, aku pikir kau tak menua sedikit pun. Waktu tak memiliki kekuatan untuk mengurangi kecantikanmu di mataku. Dan waktu juga tak kuasa untuk mengurangi perasaanku padamu.
Dan lihatlah, aku melihatmu berjalan menghampiriku. Kau tersenyum, dan hujan ini berhenti. Matahari bersinar. Dan saat itulah, aku tahu.
“Hai.” Kau berkata.
“Hai.” Aku menjawab dengan bodohnya. “Kau kembali.”

“Tentu saja,” jawabmu. Kemudian, kau memelukku, memeluk pria bodoh ini, yang belum bisa melupakanmu selama ini. Pria bodoh yang belum pernah mengungkapkan perasaannya padamu, bahkan setelah belasan tahun bersama, bahkan di saat-saat terakhir kita, sepuluh tahun yang lalu, di kota ini, kota kita dengan seluruh bagian-bagiannya. Di bawah awan kelabu, hujan yang rintik, udara yang sejuk, dan matahari yang mengintip dengan cerahnya.

TULISAN 6

TULISAN 6
KESATRIA DI DALAM DESA
Kisah ini saya dapatkan dari cerita teman saya yang ia alami saat ia berada di kampong halaman nya.
Kumel, dekil, polos dan apa adanya itulah salah satu gambaran tentang Hendar kecil. ia adalah salah satu anak ke 4 dari 5 bersaudara. Hendar sendiri tumbuh dalam keluarga yang bisa di katakan sangat sederhana atau serba kekurangan dalam sisi ekonomi. hidup serba kekurangan sudah menjadi hal yang biasa bagi hendar, tetapi ia tak hanya diam menyaksikan apa yang keluarganya rasakan, Hendar selalu berusaha mensiasati hal tersebut dengan berbagai macam tindakan kreatifnya, seperti berjualan es lilin, kacang rebus, jagung rebus milik tetangganya yang berbaik hati untuk membantu. dan gambar mewarnai yang hendar buat sendiri untuk di jual di sekolah dasar tempat ia menimba ilmu serta hendar juga berjualan kantong kresek di pasar tradisional. Tak ada sedikit pun rasa malu, canggung yang menghantuinya, tapi yang ada hanya semangat dan percaya diri.

Setiap pagi Hendar pergi ke sekolah untuk melaksanakan kewajibanya sebagai pelajar, sambil membawa beberapa dagangan untuk dijajakan. sedangkan sepulang sekolah ia tak langsung bermain layaknya anak-anak seusianya, akan tetapi Hendar pergi ke pasar untuk berjualan kantong kresek yang sudah menjadi rutinitas setiap pulang sekolah.

ya memang tak pantas rasanya seorang anak kecil seusianya yang harusnya menikmati masa-masa dunia anak, malah ia menjelma bak orang dewasa. tetapi apa daya keadaanlah yang memaksa ia.

Kaki kecil penuh dengan lumpur hitam pasar tradisional yang beralaskan sandal kusam berbeda pasang itu, terus membawa ia menjajakan barang daganganya dari tempat satu ke tempat yang lain.

“pak, bu kantong kreseknya…!” tawarannya ke setiap kali ada orang yang sedang berbelanja.
2 ratus rupiah harga per kantongnya sudah membuatnya senang di setiap ada orang yang membeli dagangan hendar.

Sinar matahari yang sangat menyengat tak membuatnya ikut terbakar dalam sengatan panasnya sang surya untuk terus mengerjakan rutinitasnya itu. terkadang rasa haus dan lapar menjadi teman pengantar setia hendar

Berwangian bau sengatan matahari, bemandikan keringat, beraromakan semerbak bau khas pasar tradisional sudah menjadi gaya hidup dalam pekerjaanya. Jika waktu sudah sore, hendar mencukupkan pekerjaan dan pergi untuk pulang dengan sedikit membawa uang dari hasil jualannya. Tak banyak memang, akan tetapi itu sedikit cukup untuk mengisi uang saku dan sedikit membantu orang tua hendar di rumah. Waktu terus bergulir dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, dan tahun ke tahun berlalu dengan pengorbanan, kini Hendar tumbuh menjadi sosok pemuda biasa lainnya, yang sekarang duduk di bangku SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) swasta di daerah pamarayan serang. Berbekal dari ilmu dan pegalaman yang ia dapat dari masa kecilnya, cukup membuat ia tegar dan siap menjalani NANO-NANO KEHIDUPAN di masa nanti. Cahaya masa depan yang cerah kini sedang menanti untuk ia raih. Dan Masa lalu biarlah belalu hidup getir, pahit dan jauh dari kata cukup biar saja menjadi bingkai kehidupan dan jadi motivasi untuk meraih masa depan yang gemilang.


Itulah Muhammad Suhendar orang-orang sering di memanggil ia Hendar dia tinggal di salah satu desa yang tidak jauh dari pusat kota, tapi aku merasa jauh dia pedalaman desa karena dia sendiri tidak begitu merasakan manisnya suasana kota…

TULISAN 5

TULISAN 5
PARA PENEGAK HUKUM

“kau pikir kau pintar!!, LEPASKAN AKU”, teriakan itu tak henti terdengar dan memantul di tembok-tembok bawah tanah, tak seorang pun selain mereka tau akan hal ini, ismeth tak kan berhenti sampai ia puas terhadap Sandra barunya.
“terima kasih telah berpikir begitu”, kata ismeth menanggapi laki-laki terborgol di depannya, senyuman kejam dan tatapan tajam itu masih tak terhapus dari wajahnya.
“aku tak pernah punya masalah denganmu!”, kata laki-laki bertubuh tinggi dan bidang itu, ia terlihat lelah dan keringatnya tak henti menuruni keningnya, ia tak henti berteriak dan ismeth tak pernah merasa kelu dengannya. Ismeth menggeleng dan tertawa kecil.
“lebih besar! Kau punya masalah dengan Negara ini. Polisi rupanya tak dapat menjinakkanmu, nyawa-nyawa melayang dan aku tak melihat kau menghargainya, ngomong-ngomong berapa mobil yang sudah kau hancurkan?”, ismeth mulai berkata-kata, setelah sebelumnya meninggalkan laki-laki itu di dalam ruang tersembunyi dari jangkauan masyarakat.
“oh jangan berlagak, wewenang apa yang kau punya untuk cukup menghakimiku?”, ia masih berteriak.
“semestinya kau bertanya, wewenang apa yang tidak aku punya untuk menghakimimu, bukankah setiap orang memiliki hak, kewajiban dan norma, aku yakin kau tidak asing dengan itu”, ismeth masih menanggapi santai.
“CUKUUP!! Kau membuatku muak! Jika kau peduli pada mereka, itu sudah terlambat, mereka sudah mati, mobil-mobil itu sudah hancur dan polisi-polisi itu cukup bodoh”, teriak laki-laki itu lagi dan lagi disertai kemenangan. Ismeth menarik belati dari balik sabuknya dan menusukannya pada paha laki-laki itu, teriakan yang sungguh hebat menggelegar di udara hingga ismeth menarik kembali belati itu.
“kuharap kau memahami makna peduli itu kemudian”, katanya sebelum beranjak pergi.

Alunan lagu yang ringan dan beruntut itu menggema di seluruh tembok-tembok ruangan, penataan kuno serta berada dalam musik melodi tempo dulu. Lukisan dengan corak abstrak penuh misteri bergantung rapi di tiap-tiap tembok dengan ukuran kurang lebih satu meter. Lampu yang menjadi penerang ruangan itu berupa Kristal-kristal yang menjulang turun menyerupai tambang kristal. Tak ada suara homosapiens berkeliaran, tak satupun di ruangan yang cukup mengisi seratus orang itu. hening sepi, dan lambaian hawa dingin itu menyerupai gumpalan es di kutub sana akibat pendingin ruangan yang dibiarkan begitu saja. Senja dengan alunan musik kuno beruntut, meracuni si pemilik rumah tertidur pulas di atas sofa coklat muda.

Beberapa benda tak terjawab apa kegunaannya, berserakan di lantai-lantai, mesin sensor, kabel umbilical, transponder, paku, katrol sederhana, camera video, boneka robot, magnet, dengan rumus mekanika, dsb. Ponsel yang juga menjadi bagian dari serakan itu terus berkedip dan bergetar. Terus seperti demikian hingga menit menjadi jam, dan pemilik rumah yang hanya seorang itu membuka kelopak mata dan kembali menangkap pancaran sinar yang masih menyala. Ismeth menarik tulang-tulang bahunya ke atas, meregangkannya dari tidur dengan posisi yang kurang menguntungkan. Ia menekan matanya dengan otot-otot matanya sendiri, sembari kemudian melirik jam dinding yang terpasang di barat ruangan, di samping kanannya. Pukul 05.10 lebih, ia tak bisa menangkap jelas tanpa lensa kacamatanya.

Ia berdeham, suaranya terdengar berat dan serak. Ia menangkap lampu merah ponselnya kemudian tepat di samping kakinya saat itu, meraihnya sekali lagi berusaha meregangkan tulang punggungnya. 6 pesan dan 5 panggilan tak terjawab
Aku berpikir untuk melemparmu ke dalam jurang, kau!!! Jika kau tak berhenti terus memata-matai kami, aku benar-benar tak bisa tinggal diam
Ismeth menguap sekali, lalu melempar ponselnya ke sampingnya di atas sofa, tak berniat melihat lebih ke dalam ponselnya. ia tidur tapi itu masih tak cukup membuatnya kembali bugar, pakaiannya masih penuh debu dan goresan, bau amis masih bisa tercium. Ia beranjak untuk mendapatkan air hangat dan secangkir kopi.

Kulitnya yang kuning langsat teralir semburan air dari shower, menuruni 69 inci tubuhnya. Pikirannya masih tak dapat berhenti, lelah memang dengan segala beban pikiran di dalam kepalanya itu, semuanya menerkamnya, semuanya ingin membuatnya marah, pening dan solusi terbaik hanya dengan memejamkan mata. Mentri itu! rekan itu! manusia-manusia itu! ia ingin terjang dalam sakit hati yang lebih dalam, ia terus menggerutu “omong kosong! Omong kosong!”. Sedang benaknya menyimpan memori jangka panjang yang tak henti mengalir di nadinya menjadikannya bagian dari hidup.
“cinta tanah air merupakan perasaan cinta sebenarnya yang mengandung unsur kasih dan sayang terhadap tanah air, kemudian timbul dalam diri kemauan untuk merawat, memelihara, dan melindungi dari segala bahaya yang mengancam. Kita agen terpilih rela berkorban, kita! warga penting Negara Indonesia, mengabdi pada tanah air Indonesia, kita berani untuk mengorbankan nyawa demi membela tanah air…”
Ismeth tertawa kemudian, kecil dan kemudian lepas, ia tertawa dan air itu mulai mengalir melewati garis bibirnya yang terbuka. BPPI mempunyai target, itulah yang menjadi benih kebenciannya, ia baik dipecat dari kelompok kriminal yang menyebut dirinya malaikat. Jika ia harus mati dengan nama BPPI dipundaknya dengan membela tanah air, ia lebih baik mati tanpa BPPI dan menjadi warga Negara biasa lainnya. Selepas dari itu, ia memutuskan untuk pergi ke kantor kemasyarakatan pusat dan membereskan sesuatu.

Jaket kulit hitamnya ia kenakan untuk menaiki motor berjenis Harley Davidson berwarna gelap siap ia lajukan menuju jalanan yang masih cukup sepi. Bagunan-bagunan tak beraturan antara kecil dan besar, pojokan dan selokan sudah mirip tempat sampah, untungnya tuhan masih cukup baik memberi udara segar tiap pagi. Ia menemukan papan besar bertulis departemen masyarakat, di sebelah kanan perempatan jalan, ia parkirkan motornya lebih jauh. Helmnya sudah ia turunkan, rambut hitam pekatnya yang berantakan dan sudah tumbuh 3 cm lebih itu belum sempat disisir. Ia melangkah kaki dengan pasti. Sesuai dengan informasi yang ia dapatkan, data pengeluaran kantor itu akan keluar pagi ini. Kalau bukan karena beberapa anak jalanan yang ia lihat tak terurus beberapa hari itu, tak akan membuatnya sadar kemudian.

Ia memasuki bangunan dengan tembok-tembok kaca nan megah itu, beberapa orang dengan kemeja dan dasi sudah memenuhi beberapa dari lantai itu, ia dapat melihat tangga melingkar di tengah ruangan dan mulai melangkah. Wajahnya terlihat santai, tak ada seorang pun yang mengetahui niat laki-laki itu. ia menelusuri jalan selepas dari anak tangga. Ia menemukan ruang yang mendata segala pengeluaran departemen tersebut dan terhenti pada gerakan tangannya di atas gagang pintu saat melihat laki-laki gemuk dalam bulatan jas dan dasi sedang membaca beberapa berkas dan memasukannya kedalam mesin pemotong kertas.

“sial! Aku sudah yakin dia akan melakukannya”, bisiknya kesal pada diri sendiri, kacamatanya ia naikan dengan dorongan jari telunjuknya, kemudian ia menjauh dari pintu kaca itu, beralih pada tembok yang dapat membantunya tak dikenali. Tak lama laki-laki gemuk itu keluar dengan langkah santai dan penuh kebahagian. Ismeth tak bisa berhenti memandang tajam laki-laki itu, ia ingin sekali menarik kerahnya dari belakang dan melemparnya dari lantai dua. Ia kemudian masuk kedalam ruang yang sudah tak sabar ia serbu itu, merogoh tong sampah mini, dan menemukan potongan-potongan rapi kertas yang masih hangat. Tanpa banyak Tanya ia keluar kemudian.

Inilah dimana ia berdiri, duduk dan melepaskan segala rasa sakit hatinya, di atas karpet merah dengan alunan musik kuno, dan berbagai potongan-potongan benda tak jelas disekitarnya. Ia berhasil menyusun kembali berkas data pengeluaran milik departemen kemasyarakatan. Semua uang itu dikeluarkan tanpa alasan yang jelas, ia tertawa dengan hasil yang ia dapatkan, “hidup ini memang tak sempurna tanpa korupsi”, ejeknya sembari menyeruput kopi hitam di sampingnya, “jadi enaknya apa yang akan aku lakukan pada si gentong berjas itu, mungkin ia butuh alat pemotong jari”, katanya pada diri sendiri.

Ismeth, tak pernah bergurau dengan apa yang ia katakan, tak pernah peduli dengan bujukan-bujukan setiap orang, tak ada teman dan ia mempunyai musuh baru tiap-tiap harinya, ia muak dengan segala keseharian warga Negara ini, ia tak pernah yakin bahwa dengan menyekap dan memukuli orang-orang yang menjadi masalah itu akan mengurangi jumlah keprihatinan dan menambah kejayaan negri ini, otaknya buntu, ia memang tak peduli kemudian soal kuantitas, yang penting jiwanya merasa puas. Ia memilih masuk ke dalam kelompok BPPI atau badan pusat penyelidikan indonesia yang di didirikan secara rahasia pada tahun yang lalu hanya untuk memberi sedikit tumpah darahnya untuh negri itu. Sebenarnya itu memang janggal sejak awal, ia dipecat kemudian karena ia terus membantah dan melawan aturan agen rahasia itu. hari demi hari ia kemudian tau bahwa BPPI tak murni lagi, hukum yang masih tak tegak semakin dirobohkan oleh agency sialan itu, ismeth terus memutar memori. hingga pada suatu waktu terpikir olehnya untuk menghancurkan BPPI.

Ismeth sudah 3 hari memata-matai kantor pusat BPPI tanpa ketahuan, semakin banyak informasi yang ia dapat semakin mudah ia menghancurkan agency itu, rupanya pemimpin BPPI yang dulu telah digantikan, dan beberapa orang lama dikeluarkan, pelatihan BPPI tak lagi seperti dulu, banyak yang berubah dari BPPI setelah ia pergi. Ia melirik dari balik tembok di depan pintu gudang menuju ruang utama BPPI, tak sengaja ponselnya berdering keras, dan membuatnya terpelonjak kemudian dengan sigap ia matikan, ia memutuskan pergi sebelum seseorang memergokinya.
“ismeth?”, terlambat seorang dari balik punggungnya memergokinya, ismeth dapat mengendalikan keterkejutannya, suara itu tampak tak asing, beberapa memori berselieran di benaknya.
“icha”, katanya saat berbalik melihat wanita dengan jas crem ketat, kacamata, dan rambut keriting sebahu.
“a-pa…”, kata ica terpecah ketika ismeth menarik lengan wanita itu masuk ke dalam gudang yang ada di hadapan icha, icha memberontak lemah. Ismeth menutup pintu dengan perlahan, ruangan itu tampak terang berkat cahaya yang dibiaskan dari kaca jendela. Keduanya terdiam untuk beberapa saat, entah mengapa ismeth memandang mata wanita itu dengan tajam. Icha berdeham “aku menunggumu, kau.. benar-benar menghilang”, kata icha kemudian.
“aku pikir pembicaraan terakhir kita sudah cukup jelas”, jawab ismeth santai membuat icha menghembus napas kesal.
“hanya itu?, pernikahan kita batal, dan cukup itu yang kau katakan?”, Tanya icha dengan suara yang lebih keras, ismeth sempat menoleh ke arah pintu jikalau ada seorang yang tertarik untuk masuk.
“kita memang tidak cocok”, kata ismeth pendek.
“apa ini karena BPPI? Kau masih berpikir berat tentang Negara ini?, kau lebih memilih Negara ini dari pada aku?, cukup dengan omong kosong ini met! Apapun yang akan kau lakukan semakin memperburuk keadaan. Kau takkan percaya jika kau kini menjadi buronan BPPI”, icha mulai tak terkontrol dengan segala pikiran yang sudah ia tahan cukup lama.
“kau benar! Negara ini lebih penting”, jawab ismeth tersenyum tipis ke arah wanita yang semakin dibuat kesal olehnya. Icha sudah siap untuk menjawab, tetapi ismeth menyelanya lebih dulu “apa kau akan berkata aku bukan laki-laki normal yang membelikanmu berlian dan membawamu ke paris?”, ismeth menggeleng dan tertawa kecil. Icha tersenyum manis mendengar pertanyaan ismeth.
“kau tau aku selalu mendukungmu, apapun yang kau lakukan. Aku sama sekali tak keberatan untuk menunggumu, sampai kapan pun. Oh ya kudengar kau meneror seorang mentri 2 minggu yang lalu, benarkah?”, icha mulai mencoba menahan apa yang sebenarnya harus ia lakukan pada ismeth, untuk mendapat suatu yang berharga nanti, ia mengorbankan harga dirinya, ia mencoba menanyakan suatu yang sudah jelas itu.
“ya!”, jawab ismeth singkat.
“kau tau?!, apa yang kau lakukan membahayakan seluruh warga Negara ini, mereka semakin merasa tidak aman, ya aku sebagai anggota BPPI merasa turut campur akan hal ini”, jelas icha berlagak ramah, ismeth terdiam sejenak.
“sudahlah kau juga tau mereka sudah tak menginginkan Negara ini, hanya tempat untuk bertapak, hidup yang sekedar hidup, apa mereka peduli bahwa Negara ini kemudian akan hancur”, wajah ismeth terlihat menghina dengan ekspresinya yang santai, mendengarnya membuat icha melotot dan terkejut
“maksudmu?”, tanyanya tak mengerti.
“banyak sekali kondisi yang menyebabkannya, kau butuh bukti? Aku yakin kau tak buta, kau tau tak ada seorang pun yang mau memakai barang dengan kualitas tak terjamin, tak ada yang bangga memakai barang Indonesia, ditambah masuknya pengaruh luar yang dimudahkan oleh pemerintah. Banyaknya kasus terorisme dan korupsi, apa yang dapat dibanggakan dari negri ini di dunia internasional?, cinta tanah air sekarang ini sudah jauh dibanding setengah abad yang lalu. negri ini tak akan pernah jaya jika seseorang tak mau bersikap berani. aku sudah lelah untuk terus berpikir positif, aku mencoba berpikir rasional, berapa banyak warga yang cinta akan tanah airnya, yang mau menumpahkan darahnya demi kepentingan umum?, mengapa kita harus melakukannya sedang mereka bersenang-senang dengan kriminalitas”, jelas ismeth memandang lekat icha, suaranya terdengar berbisik.
“aku tau kau muak, tapi aku bercita-cita untuk menumbuhkan kesadaran itu pada mereka. Aku tau apa yang kau lakukan selepas kau dari BPPI, dan entahlah apa yang membuatmu teracuni, menyeret orang-orang jahat itu, memukuli mereka sampai sekarat”, kata icha.
“aku punya kesenangan tersendiri akan hal itu”, jawab ismeth santai. Icha menggeleng tak percaya pada laki-laki itu, orang yang ia sukai ternyata mempunyai pemikiran yang mengerikan.

Terdiam keduanya kemudian, icha tak dapat berbicara dan ismeth siap membalas perkataan wanita itu, sunyi di antara mereka, yang terdengar hanyalah bunyi kendaraan bermotor dari balik jendela. Mata icha mulai melirik ke arah pintu, menunggu, beberapa detik berlalu dan pintu itu dibuka paksa.
“jangan bergerak!”, suara beberapa laki-laki berseragam dan membawa pistol yang menodongkannya kearah ismeth membuat ismeth terngangah sejenak, tak ada yang dapat dilakukan laki-laki itu, lari atau mati, ia hanya memandang icha tajam, sedang icha tak dapat memandang matanya.

“maafkan aku, jika kau berkata lebih mementingkanku dari pada Negri ini, aku bisa menolongmu”, kata icha sedikit berbisik dan wajahnya masih menunduk, polisi itu kemudian memborgol ismeth dan mengamankannya. “Hal Ini takan membiarkanku untuk berhenti bertindak demi negri ini”, balasnya pada icha sebelum ia dibawa pergi oleh polisi.

TULISAN 4

TULISAN 4
PERGAULAN REMAJA JAMAN SEKARANG      

Pergaulan remaja saat ini perlu mendapat sorotan yang utama, karena pada masa sekarang pergaulan remaja sangat mengkhawatirkan dikarenakan perkembangan arus modernisasi yang mendunia serta menipisnya moral serta keimanan seseorang khususnya remaja saat ini. Hal ini sangatlah mengkhawatirkan karena ditangan generasi mudalah Bangsa ini akan dibawa, baik buruknya Bangsa ini sangatlah bergantung pada generasi muda.
Remaja sebagai masa transisi antara anak-anak ke masa dewasa. Remaja juga merupakan restrukturisasi kesadaran atau masa penyempurnaan dari perkembangan dan puncak perkembangan yang ditandai dengan perubahan kondisi “entropy” yakni kesadaran manusia belum tertata rapi walaupun isisnya sudah banyak (pengetahuan, perasaan, dsb) ke kondisi “negative entropy” yakni keadaan isi kesadaran tersusun dengan baik, pengetahuan yang satu terkait dengan pengetahuan yang lain.
Di zaman maju saat ini, pergaulan remaja juga semakin maju, tetapi malah maju dalam pergaulan bebas. Sikap dan tingkah laku mereka terbentuk karena pengaruh dari lungkungan luar. Juga adanya hal baru yang terjadi, dan biasanya lebih bersifat menggairahkan, Dari masalah yang timbul akibat pergaulan remaja, keingintahuan tentang asmara(percintaan) dan seks, hingga masalah-masalah yang bertentangan dengan hokum, norma dan tatanan sosial yang berlaku di sekitar dunia remaja.
Banyak ahli psikologi yang menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang penuh masalah, penuh gejolak, penuh risiko (secara psikologis), over energi, dan lain sebagainya, karena disebabkan oleh aktifnya hormon-hormon tertentu. Tetapi pernyataan yang timbul akibat pernyataan di atas membuat remaja pun merasa bahwa apa yang terjadi, dan apa yang telah mereka lakukan adalah suatu hal yang biasa dan wajar.

Kebanyakan para remaja saat ini dalam usaha pergaulannya, mereka membentuk sebuah kelompok-kelompok atau yang biasa disebut “geng”. Pembentukan kelompok-kelompok/geng inilah nantinya yang akan menjadi dan memiliki cirri khas dan kesepakatan yang secara khusus hanya ada di dalam suatu kelompok tersebut. Minat untuk berkelompok inilah menjadi bagian dari proses tumbuh kembang yang mereka alami. Terkadang demi seorang kawan yang menjadi anggota/geng nya, seorang remaja juga bisa melakukan dan mengorbankan apa pun, dengan satu tujuan, Solidaritas. Tetapi terkadang solidaritas menjadi hal yang bersifat semu, buta dan destruktif (bersifat merusak atau menghancurkan), yang pada akhirnya merusak arti dari solidaritas itu sendiri. Demi alasan solidaritas tersebut, sebuah geng kadang memberikan tantangan atau tekanan-tekanan kepada anggota kelompoknya (peer pressure) yang berlawanan dengan hukum atau tatanan sosial yang ada. Seperti menggunakan narkoba, mencium pacar, melakukan hubungan seks, melakukan penodongan, bolos sekolah, tawuran, merokok, corat-coret tembok, dan masih banyak lagi.

Secara individual, remaja sering merasa tidak nyaman dalam melakukan apa yang dituntutkan pada dirinya. Namun, karena besarnya tekanan atau besarnya keinginan untuk diakui dan ketidakberdayaan untuk meninggalkan kelompok serta ketidak mampuan untuk mengatakan "tidak", membuat segala tuntutan yang diberikan kelompok secara terpaksa dilakukan. Lama kelamaan prilaku ini menjadi kebiasaan, dan melekat sebagai suatu karakter yang diwujudkan dalam berbagai prilaku negatif.
Berdasar pada teori diatas, remaja akan terbentuk menjadi pribadi yang diinginkan oleh masyarakat. Tetapi hal ini tidak dapat hanya dibebankan pada kelompok ataupun geng yang dimiliki remaja tersebut. Karena remaja merupakan individu yang bebas dan masing-masing dari mereka tentu memiliki keunikan, cirri khas dan karakter bawaan dari keluarga.
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa kelompok remaja merupakan sekelompok remaja dengan nilai, keinginan dan nasib yang sama. Tetapi, masa remaja memang merupakan masa dimana seseorang belajar bersosialisasi dengan sebayanya secara lebih mendalam dan dengan itu pula mereka mendapatkan jati diri dari apa yang mereka inginkan.
Terlepas dari semua itu, masa remaja merupakan masa yang indah dalam hidup manusia, dan dalam masa yang akan datang, akan menjadikan masa remaja merupakan tempat untuk memacu landasan dalam menggapai kedewasaan. Berawal dari remaja yang tumbuh dari orang yang bergantung menjadi orang yang tidak tergantung, yang identitasnya memungkinkan orang tersebut berhubungan dengan yang lainnya dalam gaya dewasa.


TULISAN 3

TULISAN 3
TRANSMIGRASI SEORANG SAUDARA SAYA
Aku ingin menceritakan pengalaman ku mengantar saudara ku transmigrasi ke lampung pulau Sumatra, pada tahun 2006 silam waktu aku duduk di bangku sekolah dasar ya masih kecil deh belum mengerti apa arti transmigrasi hehehe, aku mangantar saudara ku pindah ke lampung untuk menerima penawaran dari pemerintah.
Aku pergi dari bekasi ke lampung pukul 6 pagi dan tiba di lampung itu sekitar pukul 7 malam, aku dan keluarga dan saudara ku yang ingin pindah kesana lalu naik angkutan umum menuju lokasi rumah yang di sediakan pemerintah, karna jarak nya agak di pelososk dan jauh dari keramaian, terpaksa kami duduk menunggu mobil angkutan umum agak lama, maklum hutan. Setelah menunggu berlama lama akhirnya angkutang yang kami tunggu datang juga kami naik dan segera menuju lokasi rumah.
Setelah tiba disana ternyata sudah ada beberapa rumah ya mungkin masih bias di hitung dengan jari deh karna saking sepi nya, setibanya akhirnya kami menemukan rumah saudara ku yg sudah di sediakan dari pemerintah untuk pemuda yang berstatus pengangguran yang dengan syarat harus mengolah dan menjaga perkebunan depan rumah tersebut, ini sebuah upaya pemerintah untuk memperatakan penduduk di Indonesia agar tidak padat di satu sisi.
Disana masih terasa banget alami nya, masih terdengar suara serigala mengaung dan kicauan burung di pagi hari pun masih sangan alami deh..
Saya sudah tau tujuan pemenrintah, dan saya juga baru menyadarinya setelah saya duduk di bangku SMA dan belajar ilmu PKN. Jadi pemerintah bertujuan meratakan seluruh penduduk Indonesia, dan ingin membasmi kemiskinan juga, karena pengangguran seperti saudara saya itu di berikan sebuah pekerjaan yang lumayan menguntungkan, jadi pemerintah akan untung 2 kali, untuk karena hutan Negara itu akan di olah menjadi perkebunan dan yang paling penting, warga Indonesia itu merata dan tidak terlalu sesak di kota kota besar, yang menumpuk dan membuat kumuh kota tersebut dengan pekerjaan yang tidak jelas.
Karna saya dulu masih kecil ya maklum masih SD gak kuat untuk pergi jauh, setelah semalam menginap disana aku sakit dan di bawa ke dokter, akhirnya aku ayah dan ibuku memutuskan untuk kembali ke bekasi ke esokan hari nya, padahal kami ingin menginap di sana ingin satu minggu, tetapi kebetulan ada halangan atau musibah tak terduga jadi keluarga saya Cuma menginap 2 malam saja di sana, di pagi hari nya kami pulang dan pamit.
Di perjalanan saya pun merasakan betapa hangatnya keluarga saya, terutama seorang ibu, yang selalu setia menjaga dan melindungi anggota keluarga.

Hingga sekarang aku pun belum pernah lagi main kerumah saudara ku di lampung sana, malahan dia yang sering main kebekasi karena sepi dan ingin berlibur untuk mencari keramaian di kota bekasi.

TULISAN 2

TULISAN 2
KOTA KU KINI TAK RAMAH LAGI
Helo teman semua terimakasih telah membaca tulisan saya tentang KOTA ini
Aku Lingga Baskara, aku tinggal di KOTA bekasi ini dan aku kuliah di Universitas Gunadarma bekasi, pokok nya keseharian yang aku jalani pasti selalu berkutat hanya di kota Bekasi tercinta. Bahkan aku lahir dikota Bekasi juga lho, pokok nya keseharian ku sudah melekat erat dengan kota Bekasi ini
Yang ingin aku bahas adalah bagaimana tentang orang pendatang yang telah masuk ke kota bekasi ini, sehingga membuat kota bekasi ini menjadi sesak, padat dan tidak nyaman lagi deh.
Berbeda dengan 10 tahun silam, ketika aku masih berusia 8 tahun, aku masih bisa merasakan lembut nya lumpur padi, masih bias berlari-larian di sawah dan mencari ikan.
Seiring berjalannya waktu, tanpa terasa bekasi ini semakin lama semakin sesak dan semakin kumuh, bahkan nanti kalau menurut saya, bekasi akan menjadi kota padat penduduk seperti kota Jakarta.
Banyak nya pendatang baru yang tinggal di bekasi, datang dan merusak, tidak memperdulikan kota ini, hanya membuat kota ini menjadi semakin parah, seiring waktu berjalan 10 tahun berlalu, dampak itu semua aku rasakan banget, aku tidak bisa lagi menemukan sawah, lumpur bahkan kolam empang untuk mencari ikan di dekat rumah ku, padahal dulu di daerah rumah ku di KP Rawa Bambu itu terkenal banget dengan rawa dan sawah yang sangat luas.
Tapi nyatanya sekarang bukan nya aku menemukan sawah, lumpur atau empang, melainkan aku lebih sering menjumpai tinggi nya pagar rumah, dan dinding pabrik yang begitu angkuh terlihat. Apasih penyebab semua ini? Kepada siapa kita harus pertanyakan sawah, lumpur dan empang ikan. Semenjak ada pembangunan berdiri nya bangunan baru yang di huni oleh para pendatang baru, semua jadi gak karuan, daerah rumah ku yang biasanya tidak banjir kini menjadi banjir, jika sudah begini siapakah yang akan di salahkan? Sementara orang jaman sekarang sudah banyak orang yang super sibuk, boro-boro mengurusi lingkungan, kadang mengurusi rumah nya sendiri saja sudah seperti tidak ada waktu, karena di otak mereka semua hanya karir, kerja dan uang.
Ya namanya juga manusia, aku juga tidak bisa menyalahkan para pendatang baru di kota Bekasi ini, karena mereka punya HAK untuk tinggal dimanapun, yang aku inginkan Cuma agar dia tau dan peduli kepada lingkungan nya, menjaga nya dan merawat nya, agar kota bekasi ini menjadi kota yang tertib dan indah tanpa adanya bencana yang disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri.
Jika sudah terjadi seperti sekarang serasanya aku ingin kembali lagi ke masa aku kecil lagi, aku suka rindu dan sedih melihat perkembangan kota ini, entahlah mungkin karena saya cinta dengan kota ini jadi sedih deh hehe, bukan lebay atau gimana lho ini.
Yuk mari kita semua jaga kota ini dengan baik dan benar, sehingga tidak merugikan satu sama lain, sema kembali kepada kesadaran masyarakat masing masing tentang keperdulian kepada lingkungan nya, aku tidak pernah memaksa untuk perduli, aku Cuma mengingatkan bahwa kita masih punya anak cucu, apakah kalian tega melihat mereka semua menjadi anak yang tidak memiliki sumber daya alam yang saat ini kalian habisi dan di jadikan pabrik, apakah kalian semua tega melihat mereka menjadi anak yang tidak mengenal petani dan tersiksa di kota kelahiran nya dan Negara nya yang ia cintai.

Sekian tulisan singkat dari saya, kalau ada kesalahan kata mohon di maafkan, aku Cuma ingin memberikan yang terbaik untuk kota ini, salam hangat dan selalu menjaga lingkungan ya. Aku yakin warga BEKASI pasti bisa!

TULISAN 1

TULISAN 1
PENGALAMAN PERTAMA BELAJAR ILMU SOSIAL DASAR
Awal mula ketika aku lulus sekolah SMA dan betapa senang nya aku bias merasakan masuk di bangku kuliah ku di universitas gunadarma, aku menagmbil fakultas sistem informasi di. Dan di fakultas ini ada sebuah mata kuliah yaitu ilmu social dasar (soft skils) yang mempelajari tentang tata cara kehidupan, bersosialisasi dan menjadi warga negara yang baik untuk Negara, dengan pelajaran ini saya jadi banyak tau tentang tata cara hidup yang baik, dan sebagai seorang mahasiswa yang biasanya terkesan urak-urakan atau nakal lah ya hehe,
Yang saya rasakan sebagai mahasiswa baru dan mempelajari ilmu softskils ini saya jadi banyak tau tentang kehidupan, semua yang saya rasakan benar benar menjadi sesuatu yang tersendiri, saya merasakan ada perubahan dari dalam diri saya, karena pelajaran ini telah membimbing saya menjadi manusia yang berakhlak dan menghargai kehidupan.

Mahasiswa yang telah terbimbing dengan pelajaran ini jika di telaah lebih dalam lagi maka kamu akan mengerti semua kehidupan yang ada dan lebih membuka mata untuk melihat masadepan yang lebih cerah J

BAB 10

BAB 10
PRASANGKA DISKRIMINASI DAN ETNOSENTRISME

1.     PERBEDAAN PRASANGKA DAN DISKRIMINASI

Prasangka = suatu sikap yang negatif terhadap sesuatu
Diskriminasi = suatu sikap dimana suatu suku/ras mengucilkan atau membedakan suku lainnya.
A . Sebab – sebab timbulnya prasangka dan diskriminasi
1.     Berlatar belakang sejarah seperti, orang kulit putih mendiskriminasikan orang berkulit hitam ( amerika – afrika )
2.     Dilatarbelakangi oleh perkembangan sosio – kultur dan situasional
3.     Bersumber dari faktor pribadi
4.     Berlatar belakang dari perbedaan keyakinan,kepercayaan, dan agama
B.  Daya upaya unutk menghilangkan prasangka dan diskriminasi
·        Perbaikan kondisi sosial ekonimi
·        Perluasan kesempatan belajar
·        Sikap terbuka dan sikap lapang

2. ETNOSENTRISME

Setiap suku bangsa/ras memiliki ciri khas kebudayaan tertentu, yang sekaaligus menjadi kebanggaan mereka.
Setiap suku/ras cendrung menganggap kebudayaan mereka sebagai salah satu yang prima, logis, sesuai dengan kodrat alam, dsb. Segala yang berbeda dengan kebudayan mereka dianggap sebagai sesuatu yang kurang baik, kurang estetis, dsb.
Dan hal – hal inilh yang biasanya kita anggap sebagai ETNOSENTRISME

Etnosentrisme = suatu kecendrungan yng menganggap nilai – nilai dan kebudayaan sendiri sebagai salah satu kebudayaan/ras yang prima/yang terbaik dari semua kebudayaan dan ini dipakai sebagai tolak ukur untuk menilai dan membedakannya dengan kebudayaan lain.

BAB 9

BAB 9
AGAMA DAN MASYARAKAT

1.KAITAN AGAMA DENGAN KEHIDUPAN

Kaitan agama dengan kehidupan adalah bahwa agama adalah suatu tempat untuk mencari makna hidup yang final dan kesuluruhan serta sebagai sumber motivasi tindakan individual dalam hubungan sosial .
Agama juga sebagai pedoman agar setiap individu tidak berbuat suatu tindakan yang dilarang oleh agama tersebut , seperti , merokok, minum – minuman keras, serta bertindak kekerasan.
1.      Fungsi agama
-          Menurut seorang fungsionalisme agama adalah sebagai petunjuk bagi manusia untuk mengatasi diri dari ketidakpastian, ketidakberdayaan, dam kelangkaan dan agama dipandang sebagai mekanisme penyesuaian yang paling dasar terhadap unsur – unsur tersebut.
-          Agama sebagai sosialisasi individu
-          Agama dalam pengukuhan nilai – nilai
-          Fungsi agama di bidang sosial adalah sebagai fungsi penentu
Menurut Roland Robertson ( 1984 ), diklasifikasika berupa :
-          Dimensi keyakinan
-          Praktek agama yang mencakup perbuatan memuja  dan berbakti seperti melakukan komitmen agama secara nyata.
-          Dimensi pengalaman
-          Dimensi pengetahuan
-          Dimensi konsekuensi
2.      Pelembagaan agama
Kaitan agama dengan masyarakat dapat mencerminkan 3 type, meskipun tidak menggambarkan sebenarnya secara utuh (elizabeth K. Nottingham, 1954 )
a.      masyarakat yang terbalakang dan nilai –nilai sakral
ciri – cirinya adalah :
- Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral kedalam sistem nilai masyarakat     secara mutlak
- Dalam keadaan lembaga lain selai keluarga relatif belum berkembang
            b.   masyarakat – masyarakat praindustri yang sedang berkembang