TULISAN 5
PARA PENEGAK
HUKUM
“kau
pikir kau pintar!!, LEPASKAN AKU”, teriakan itu tak henti terdengar dan
memantul di tembok-tembok bawah tanah, tak seorang pun selain mereka tau akan
hal ini, ismeth tak kan berhenti sampai ia puas terhadap Sandra barunya.
“terima
kasih telah berpikir begitu”, kata ismeth menanggapi laki-laki terborgol di
depannya, senyuman kejam dan tatapan tajam itu masih tak terhapus dari
wajahnya.
“aku
tak pernah punya masalah denganmu!”, kata laki-laki bertubuh tinggi dan bidang
itu, ia terlihat lelah dan keringatnya tak henti menuruni keningnya, ia tak
henti berteriak dan ismeth tak pernah merasa kelu dengannya. Ismeth menggeleng
dan tertawa kecil.
“lebih
besar! Kau punya masalah dengan Negara ini. Polisi rupanya tak dapat
menjinakkanmu, nyawa-nyawa melayang dan aku tak melihat kau menghargainya,
ngomong-ngomong berapa mobil yang sudah kau hancurkan?”, ismeth mulai
berkata-kata, setelah sebelumnya meninggalkan laki-laki itu di dalam ruang
tersembunyi dari jangkauan masyarakat.
“oh
jangan berlagak, wewenang apa yang kau punya untuk cukup menghakimiku?”, ia
masih berteriak.
“semestinya
kau bertanya, wewenang apa yang tidak aku punya untuk menghakimimu, bukankah
setiap orang memiliki hak, kewajiban dan norma, aku yakin kau tidak asing
dengan itu”, ismeth masih menanggapi santai.
“CUKUUP!!
Kau membuatku muak! Jika kau peduli pada mereka, itu sudah terlambat, mereka
sudah mati, mobil-mobil itu sudah hancur dan polisi-polisi itu cukup bodoh”,
teriak laki-laki itu lagi dan lagi disertai kemenangan. Ismeth menarik belati
dari balik sabuknya dan menusukannya pada paha laki-laki itu, teriakan yang
sungguh hebat menggelegar di udara hingga ismeth menarik kembali belati itu.
“kuharap
kau memahami makna peduli itu kemudian”, katanya sebelum beranjak pergi.
Alunan
lagu yang ringan dan beruntut itu menggema di seluruh tembok-tembok ruangan,
penataan kuno serta berada dalam musik melodi tempo dulu. Lukisan dengan corak
abstrak penuh misteri bergantung rapi di tiap-tiap tembok dengan ukuran kurang
lebih satu meter. Lampu yang menjadi penerang ruangan itu berupa
Kristal-kristal yang menjulang turun menyerupai tambang kristal. Tak ada suara
homosapiens berkeliaran, tak satupun di ruangan yang cukup mengisi seratus
orang itu. hening sepi, dan lambaian hawa dingin itu menyerupai gumpalan es di
kutub sana akibat pendingin ruangan yang dibiarkan begitu saja. Senja dengan
alunan musik kuno beruntut, meracuni si pemilik rumah tertidur pulas di atas
sofa coklat muda.
Beberapa
benda tak terjawab apa kegunaannya, berserakan di lantai-lantai, mesin sensor,
kabel umbilical, transponder, paku, katrol sederhana, camera video, boneka
robot, magnet, dengan rumus mekanika, dsb. Ponsel yang juga menjadi bagian dari
serakan itu terus berkedip dan bergetar. Terus seperti demikian hingga menit
menjadi jam, dan pemilik rumah yang hanya seorang itu membuka kelopak mata dan
kembali menangkap pancaran sinar yang masih menyala. Ismeth menarik
tulang-tulang bahunya ke atas, meregangkannya dari tidur dengan posisi yang
kurang menguntungkan. Ia menekan matanya dengan otot-otot matanya sendiri,
sembari kemudian melirik jam dinding yang terpasang di barat ruangan, di
samping kanannya. Pukul 05.10 lebih, ia tak bisa menangkap jelas tanpa lensa
kacamatanya.
Ia
berdeham, suaranya terdengar berat dan serak. Ia menangkap lampu merah
ponselnya kemudian tepat di samping kakinya saat itu, meraihnya sekali lagi
berusaha meregangkan tulang punggungnya. 6 pesan dan 5 panggilan tak terjawab
Aku
berpikir untuk melemparmu ke dalam jurang, kau!!! Jika kau tak berhenti terus
memata-matai kami, aku benar-benar tak bisa tinggal diam
Ismeth
menguap sekali, lalu melempar ponselnya ke sampingnya di atas sofa, tak berniat
melihat lebih ke dalam ponselnya. ia tidur tapi itu masih tak cukup membuatnya
kembali bugar, pakaiannya masih penuh debu dan goresan, bau amis masih bisa
tercium. Ia beranjak untuk mendapatkan air hangat dan secangkir kopi.
Kulitnya
yang kuning langsat teralir semburan air dari shower, menuruni 69 inci
tubuhnya. Pikirannya masih tak dapat berhenti, lelah memang dengan segala beban
pikiran di dalam kepalanya itu, semuanya menerkamnya, semuanya ingin membuatnya
marah, pening dan solusi terbaik hanya dengan memejamkan mata. Mentri itu!
rekan itu! manusia-manusia itu! ia ingin terjang dalam sakit hati yang lebih
dalam, ia terus menggerutu “omong kosong! Omong kosong!”. Sedang benaknya
menyimpan memori jangka panjang yang tak henti mengalir di nadinya
menjadikannya bagian dari hidup.
“cinta
tanah air merupakan perasaan cinta sebenarnya yang mengandung unsur kasih dan
sayang terhadap tanah air, kemudian timbul dalam diri kemauan untuk merawat,
memelihara, dan melindungi dari segala bahaya yang mengancam. Kita agen
terpilih rela berkorban, kita! warga penting Negara Indonesia, mengabdi pada
tanah air Indonesia, kita berani untuk mengorbankan nyawa demi membela tanah
air…”
Ismeth
tertawa kemudian, kecil dan kemudian lepas, ia tertawa dan air itu mulai
mengalir melewati garis bibirnya yang terbuka. BPPI mempunyai target, itulah
yang menjadi benih kebenciannya, ia baik dipecat dari kelompok kriminal yang
menyebut dirinya malaikat. Jika ia harus mati dengan nama BPPI dipundaknya
dengan membela tanah air, ia lebih baik mati tanpa BPPI dan menjadi warga
Negara biasa lainnya. Selepas dari itu, ia memutuskan untuk pergi ke kantor
kemasyarakatan pusat dan membereskan sesuatu.
Jaket
kulit hitamnya ia kenakan untuk menaiki motor berjenis Harley Davidson berwarna
gelap siap ia lajukan menuju jalanan yang masih cukup sepi. Bagunan-bagunan tak
beraturan antara kecil dan besar, pojokan dan selokan sudah mirip tempat
sampah, untungnya tuhan masih cukup baik memberi udara segar tiap pagi. Ia
menemukan papan besar bertulis departemen masyarakat, di sebelah kanan
perempatan jalan, ia parkirkan motornya lebih jauh. Helmnya sudah ia turunkan,
rambut hitam pekatnya yang berantakan dan sudah tumbuh 3 cm lebih itu belum
sempat disisir. Ia melangkah kaki dengan pasti. Sesuai dengan informasi yang ia
dapatkan, data pengeluaran kantor itu akan keluar pagi ini. Kalau bukan karena
beberapa anak jalanan yang ia lihat tak terurus beberapa hari itu, tak akan
membuatnya sadar kemudian.
Ia
memasuki bangunan dengan tembok-tembok kaca nan megah itu, beberapa orang
dengan kemeja dan dasi sudah memenuhi beberapa dari lantai itu, ia dapat
melihat tangga melingkar di tengah ruangan dan mulai melangkah. Wajahnya
terlihat santai, tak ada seorang pun yang mengetahui niat laki-laki itu. ia
menelusuri jalan selepas dari anak tangga. Ia menemukan ruang yang mendata
segala pengeluaran departemen tersebut dan terhenti pada gerakan tangannya di
atas gagang pintu saat melihat laki-laki gemuk dalam bulatan jas dan dasi
sedang membaca beberapa berkas dan memasukannya kedalam mesin pemotong kertas.
“sial!
Aku sudah yakin dia akan melakukannya”, bisiknya kesal pada diri sendiri,
kacamatanya ia naikan dengan dorongan jari telunjuknya, kemudian ia menjauh
dari pintu kaca itu, beralih pada tembok yang dapat membantunya tak dikenali.
Tak lama laki-laki gemuk itu keluar dengan langkah santai dan penuh kebahagian.
Ismeth tak bisa berhenti memandang tajam laki-laki itu, ia ingin sekali menarik
kerahnya dari belakang dan melemparnya dari lantai dua. Ia kemudian masuk
kedalam ruang yang sudah tak sabar ia serbu itu, merogoh tong sampah mini, dan
menemukan potongan-potongan rapi kertas yang masih hangat. Tanpa banyak Tanya
ia keluar kemudian.
Inilah
dimana ia berdiri, duduk dan melepaskan segala rasa sakit hatinya, di atas
karpet merah dengan alunan musik kuno, dan berbagai potongan-potongan benda tak
jelas disekitarnya. Ia berhasil menyusun kembali berkas data pengeluaran milik
departemen kemasyarakatan. Semua uang itu dikeluarkan tanpa alasan yang jelas,
ia tertawa dengan hasil yang ia dapatkan, “hidup ini memang tak sempurna tanpa
korupsi”, ejeknya sembari menyeruput kopi hitam di sampingnya, “jadi enaknya
apa yang akan aku lakukan pada si gentong berjas itu, mungkin ia butuh alat
pemotong jari”, katanya pada diri sendiri.
Ismeth,
tak pernah bergurau dengan apa yang ia katakan, tak pernah peduli dengan
bujukan-bujukan setiap orang, tak ada teman dan ia mempunyai musuh baru
tiap-tiap harinya, ia muak dengan segala keseharian warga Negara ini, ia tak
pernah yakin bahwa dengan menyekap dan memukuli orang-orang yang menjadi
masalah itu akan mengurangi jumlah keprihatinan dan menambah kejayaan negri
ini, otaknya buntu, ia memang tak peduli kemudian soal kuantitas, yang penting
jiwanya merasa puas. Ia memilih masuk ke dalam kelompok BPPI atau badan pusat
penyelidikan indonesia yang di didirikan secara rahasia pada tahun yang lalu
hanya untuk memberi sedikit tumpah darahnya untuh negri itu. Sebenarnya itu
memang janggal sejak awal, ia dipecat kemudian karena ia terus membantah dan
melawan aturan agen rahasia itu. hari demi hari ia kemudian tau bahwa BPPI tak
murni lagi, hukum yang masih tak tegak semakin dirobohkan oleh agency sialan
itu, ismeth terus memutar memori. hingga pada suatu waktu terpikir olehnya
untuk menghancurkan BPPI.
Ismeth
sudah 3 hari memata-matai kantor pusat BPPI tanpa ketahuan, semakin banyak
informasi yang ia dapat semakin mudah ia menghancurkan agency itu, rupanya
pemimpin BPPI yang dulu telah digantikan, dan beberapa orang lama dikeluarkan,
pelatihan BPPI tak lagi seperti dulu, banyak yang berubah dari BPPI setelah ia
pergi. Ia melirik dari balik tembok di depan pintu gudang menuju ruang utama
BPPI, tak sengaja ponselnya berdering keras, dan membuatnya terpelonjak
kemudian dengan sigap ia matikan, ia memutuskan pergi sebelum seseorang
memergokinya.
“ismeth?”,
terlambat seorang dari balik punggungnya memergokinya, ismeth dapat
mengendalikan keterkejutannya, suara itu tampak tak asing, beberapa memori
berselieran di benaknya.
“icha”,
katanya saat berbalik melihat wanita dengan jas crem ketat, kacamata, dan
rambut keriting sebahu.
“a-pa…”,
kata ica terpecah ketika ismeth menarik lengan wanita itu masuk ke dalam gudang
yang ada di hadapan icha, icha memberontak lemah. Ismeth menutup pintu dengan
perlahan, ruangan itu tampak terang berkat cahaya yang dibiaskan dari kaca
jendela. Keduanya terdiam untuk beberapa saat, entah mengapa ismeth memandang
mata wanita itu dengan tajam. Icha berdeham “aku menunggumu, kau.. benar-benar
menghilang”, kata icha kemudian.
“aku
pikir pembicaraan terakhir kita sudah cukup jelas”, jawab ismeth santai membuat
icha menghembus napas kesal.
“hanya
itu?, pernikahan kita batal, dan cukup itu yang kau katakan?”, Tanya icha
dengan suara yang lebih keras, ismeth sempat menoleh ke arah pintu jikalau ada
seorang yang tertarik untuk masuk.
“kita
memang tidak cocok”, kata ismeth pendek.
“apa
ini karena BPPI? Kau masih berpikir berat tentang Negara ini?, kau lebih
memilih Negara ini dari pada aku?, cukup dengan omong kosong ini met! Apapun
yang akan kau lakukan semakin memperburuk keadaan. Kau takkan percaya jika kau
kini menjadi buronan BPPI”, icha mulai tak terkontrol dengan segala pikiran
yang sudah ia tahan cukup lama.
“kau
benar! Negara ini lebih penting”, jawab ismeth tersenyum tipis ke arah wanita
yang semakin dibuat kesal olehnya. Icha sudah siap untuk menjawab, tetapi
ismeth menyelanya lebih dulu “apa kau akan berkata aku bukan laki-laki normal
yang membelikanmu berlian dan membawamu ke paris?”, ismeth menggeleng dan
tertawa kecil. Icha tersenyum manis mendengar pertanyaan ismeth.
“kau
tau aku selalu mendukungmu, apapun yang kau lakukan. Aku sama sekali tak
keberatan untuk menunggumu, sampai kapan pun. Oh ya kudengar kau meneror
seorang mentri 2 minggu yang lalu, benarkah?”, icha mulai mencoba menahan apa
yang sebenarnya harus ia lakukan pada ismeth, untuk mendapat suatu yang
berharga nanti, ia mengorbankan harga dirinya, ia mencoba menanyakan suatu yang
sudah jelas itu.
“ya!”,
jawab ismeth singkat.
“kau
tau?!, apa yang kau lakukan membahayakan seluruh warga Negara ini, mereka
semakin merasa tidak aman, ya aku sebagai anggota BPPI merasa turut campur akan
hal ini”, jelas icha berlagak ramah, ismeth terdiam sejenak.
“sudahlah
kau juga tau mereka sudah tak menginginkan Negara ini, hanya tempat untuk
bertapak, hidup yang sekedar hidup, apa mereka peduli bahwa Negara ini kemudian
akan hancur”, wajah ismeth terlihat menghina dengan ekspresinya yang santai,
mendengarnya membuat icha melotot dan terkejut
“maksudmu?”,
tanyanya tak mengerti.
“banyak
sekali kondisi yang menyebabkannya, kau butuh bukti? Aku yakin kau tak buta,
kau tau tak ada seorang pun yang mau memakai barang dengan kualitas tak
terjamin, tak ada yang bangga memakai barang Indonesia, ditambah masuknya
pengaruh luar yang dimudahkan oleh pemerintah. Banyaknya kasus terorisme dan
korupsi, apa yang dapat dibanggakan dari negri ini di dunia internasional?,
cinta tanah air sekarang ini sudah jauh dibanding setengah abad yang lalu.
negri ini tak akan pernah jaya jika seseorang tak mau bersikap berani. aku
sudah lelah untuk terus berpikir positif, aku mencoba berpikir rasional, berapa
banyak warga yang cinta akan tanah airnya, yang mau menumpahkan darahnya demi
kepentingan umum?, mengapa kita harus melakukannya sedang mereka
bersenang-senang dengan kriminalitas”, jelas ismeth memandang lekat icha,
suaranya terdengar berbisik.
“aku
tau kau muak, tapi aku bercita-cita untuk menumbuhkan kesadaran itu pada
mereka. Aku tau apa yang kau lakukan selepas kau dari BPPI, dan entahlah apa
yang membuatmu teracuni, menyeret orang-orang jahat itu, memukuli mereka sampai
sekarat”, kata icha.
“aku
punya kesenangan tersendiri akan hal itu”, jawab ismeth santai. Icha menggeleng
tak percaya pada laki-laki itu, orang yang ia sukai ternyata mempunyai
pemikiran yang mengerikan.
Terdiam
keduanya kemudian, icha tak dapat berbicara dan ismeth siap membalas perkataan
wanita itu, sunyi di antara mereka, yang terdengar hanyalah bunyi kendaraan
bermotor dari balik jendela. Mata icha mulai melirik ke arah pintu, menunggu,
beberapa detik berlalu dan pintu itu dibuka paksa.
“jangan
bergerak!”, suara beberapa laki-laki berseragam dan membawa pistol yang
menodongkannya kearah ismeth membuat ismeth terngangah sejenak, tak ada yang
dapat dilakukan laki-laki itu, lari atau mati, ia hanya memandang icha tajam,
sedang icha tak dapat memandang matanya.
“maafkan
aku, jika kau berkata lebih mementingkanku dari pada Negri ini, aku bisa
menolongmu”, kata icha sedikit berbisik dan wajahnya masih menunduk, polisi itu
kemudian memborgol ismeth dan mengamankannya. “Hal Ini takan membiarkanku untuk
berhenti bertindak demi negri ini”, balasnya pada icha sebelum ia dibawa pergi
oleh polisi.